=============
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Wajib bagi istri untuk menaati suaminya ketika diajak ke ranjang.”
Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny menjelaskan: Penulis kitab ini menyebutkan hak2 suami atas istrinya.
Di antara hak suami atas istrinya adalah:
1. Ditaati ketika mengajaknya jima’
Sudah dimaklumi bahwa jima’ termasuk tujuan terbesar dalam pernikahan.
Seorang laki2 menikahi wanita karena ingin menjaga kehormatannya, dan bersenang-senang dengan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Ta’ala.
Seorang laki2 menikahi wanita karena ingin menjaga kehormatannya, dan bersenang-senang dengan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, tidak boleh bagi istri untuk menolak
ajakan suaminya. Bahkan penolakan istri terhadap ajakan suaminya
merupakan dosa besar, apabila si istri tidak memiliki uzur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila suami mengajak istrinya ke ranjang, namun dia menolak untuk datang, para malaikat melaknatnya sampai pagi.”
Adanya laknat tersebut menunjukkan bahwa perbuatan itu termasuk dosa besar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga
golongan yang shalat mereka tidak sampai melampaui telinga mereka (yakni
tidak diberi pahala), di antara mereka adalah seorang istri yang
melalui malamnya, sementara suaminya dalam keadaan murka kepadanya.”
Maka, tidak boleh bagi istri untuk menolak ajakan suaminya ke ranjang, karena hal itu termasuk hak suami atas istrinya.
Kecuali, apabila istri memiliki uzur seperti sakit yang parah, haid, nifas, atau diminta oleh suaminya tapi di tempat yang tidak diperbolehkan seperti di dubur, karena perbuatan ini dilaknat dan termasuk luthiyyah shughra.
(Kalau dilakukan sesama lelaki dinamakan luthiyyah kubra)
Wallahu a’lam bish shawab.
Kecuali, apabila istri memiliki uzur seperti sakit yang parah, haid, nifas, atau diminta oleh suaminya tapi di tempat yang tidak diperbolehkan seperti di dubur, karena perbuatan ini dilaknat dan termasuk luthiyyah shughra.
(Kalau dilakukan sesama lelaki dinamakan luthiyyah kubra)
Wallahu a’lam bish shawab.
*****
2. Istri tidak boleh keluar rumah ataupun melakukan safar kecuali dengan seizin suami.
Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny menjelaskan:
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Hendaklah kalian (wahai wanita) tetap tinggal di rumah kalian.”
[al-Ahzab:33]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, janganlah suami
melarangnya.”
Para ulama berkata, “Hadits di atas merupakan dalil yang menunjukkan bahwa izinnya istri ada di tangan suami.”
Seandainya izin itu bukan di tangan suami, niscaya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan para
suami agar memberikan izin kepada wanita yang ingin pergi ke masjid.
Hal ini menunjukkan bahwa urusan keluarnya istri itu di bawah izin suami.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memperbolehkan para suami untuk melarang istrinya, jika
minta izin untuk ke masjid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
maknanya, “(Wahai sekalian suami, yang di tanganmulah perizinan atau
pelarangan), apabila istrimu minta izin kepadamu untuk ke masjid,
janganlah kamu melarangnya.”
Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan seizin suaminya.
Adapun safar maka lebih layak lagi bagi istri untuk minta izin kepada suaminya.
Safarnya istri tanpa izin suami dan tanpa kebutuhan yang mendesak (darurat) adalah haram (tidak diperbolehkan).
Namun (yang perlu diperhatikan para suami), di saat yang
sama, suami tidak sepatutnya menyusahkan/melarang istri keluar rumah
untuk memenuhi hajatnya, apalagi yang bersifat urgen dan darurat, karena
setiap wanita pasti memiliki kebutuhan yang dia perlukan di luar rumah,
misalnya: berobat, silaturrahmi, atau kebutuhan lain yang diperlukan
untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka.
Sekali lagi, wahai suami, tidak seyogianya kalian untuk menyusahkan, bersikap kaku, dan menyakiti perasaan istri.
Istri ingin keluar ke masjid, lalu minta izin kepadamu, ternyata engkau tidak mengizinkannya.
Maka dirimu telah terjatuh ke dalam penentangan terhadap petunjuk Rasul agar tidak melarang wanita yang meminta izin kepadamu untuk ke masjid.
(Kecuali, kalau dikhawatirkan timbul fitnah/kejelekan, atau tidak aman dari fitnah)
Maka dirimu telah terjatuh ke dalam penentangan terhadap petunjuk Rasul agar tidak melarang wanita yang meminta izin kepadamu untuk ke masjid.
(Kecuali, kalau dikhawatirkan timbul fitnah/kejelekan, atau tidak aman dari fitnah)
Yang mengherankan, si istri ingin keluar rumah untuk thalabul ilmi yang itu bersifat urgen, lalu engkau melarangnya pula.
Padahal, wajib bagimu untuk mengajari dan mendidik istri tentang perkara agama yang dibutuhkan olehnya.
Dan ini termasuk hak istri atas suami.
Padahal, wajib bagimu untuk mengajari dan mendidik istri tentang perkara agama yang dibutuhkan olehnya.
Dan ini termasuk hak istri atas suami.
Kecuali ya ikhwah,
Jikalau keluarnya istri ke sebagian kerabatnya menyebabkan rusaknya hubunganmu dengan istrimu. Setiap istri diizinkan ke rumah kerabatnya, pulang2 menjadi buruk akhlaknya, sombong, keras, durhaka, dan semakin berani kepada suaminya.
Engkau merasa dengan kepergiannya ke rumah saudaranya justru menimbulkan dampak negatif/kerusakan terhadap istri.
Jikalau keluarnya istri ke sebagian kerabatnya menyebabkan rusaknya hubunganmu dengan istrimu. Setiap istri diizinkan ke rumah kerabatnya, pulang2 menjadi buruk akhlaknya, sombong, keras, durhaka, dan semakin berani kepada suaminya.
Engkau merasa dengan kepergiannya ke rumah saudaranya justru menimbulkan dampak negatif/kerusakan terhadap istri.
Maka, suami yang bijak tentu tidak akan menghalangi
istrinya untuk silaturrahmi ke karib kerabatnya, sehingga terjatuh ke
dalam perbuatan memutus hubungan silaturrahmi.
Suami harus bisa mengatur dengan baik dalam memberikan izin
kepada istrinya. Misalnya, dengan tidak memberikan izin ke rumah
kerabatnya tadi, kecuali setelah melewati beberapa waktu lamanya (tidak
sering2).
Wallahu a’lam bish shawab.
Wallahu a’lam bish shawab.
*******
3. Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bagi istri untuk menjalankan tugasnya (di rumah) dengan membuatkan roti (makanan), membuat adonan, memasak, dan yang semisalnya.
Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah menjelaskan:
Di antara hak suami atas istrinya adalah dilayani (oleh istrinya) di rumahnya.
Pada permasalahan ini terdapat khilaf di kalangan para
ulama, yakni apakah wajib seorang istri untuk berkhidmah/melayani
suaminya dengan mencucikan baju, menyiapkan makanan,
menyiapkan/merapikan tempat tidur, dan membersihkan rumah.
Pendapat yang kuat adalah wajib atas istri untuk berkhidmah kepada suaminya.
Dalilnya adalah apa terjadi di masa kenabian berupa khidmah/pelayanan para istri kepada suaminya.
Di antaranya adalah hadits tentang kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Alkisah, Fathimah mendengar kedatangan para tawanan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, Fathimah mendatangi beliau, tapi tidak mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fathimah hanya mendapati Aisyah. Maka, Fathimah mengadukan tentang pekerjaan yang dilakukannya, yaitu menggiling adonan tepung dengan tangannya sampai membekas.
Maka, Fathimah ingin minta tawanan yang baru datang untuk dijadikan sebagai khadim (pembantu).
Lalu, datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun menceritakan tentang kedatangan Fathimah dan keinginannya. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka berdua (Ali dan Fathimah).
Nabi memberikan arahan kepada mereka dengan zikir.
Beliau berkata, “Apabila engkau ingin tidur, hendaklah bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali.”
Lalu beliau bersabda, “Ini semua lebih baik bagimu daripada khadim (pembantu).
Hal ini menunjukkan bahwa Fathimah, sayyidah seluruh wanita di alam ini, telah berkhidmah kepada suaminya.
Sampai2 pekerjaannya yang begitu berat membekas di tangannya.
Sampai2 pekerjaannya yang begitu berat membekas di tangannya.
Demikian pula halnya Asma bintu Abi Bakar.
Beliau berkhidmah kepada suaminya, Zubair Ibnul ‘Awwam dengan khidmah yang agung.
Asma mengurusi kudanya Zubair, mencarikan makanan untuk kudanya, dan membawakan sesuatu dari jarak yang jauh (sebagai bentuk khidmahnya kepada suami).
Semua itu terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil lain yang menunjukkan atas wajibnya istri berkhidmah
kepada suaminya adalah hadits Jabir radhiyallahu. Jabir menikahi janda.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, sehingga bisa bermain2 dengannya, dan dia juga bisa bermain2 denganmu; engkau bisa bercumbu rayu dengannya, dan dia pun juga.”
Jabir menjawab, “Sesungguhnya aku memiliki banyak saudara perempuan (yang masih kecil), aku ingin memiliki istri yang bisa mengurusi dan melayani keperluan mereka.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Kenapa engkau tidak menikahi gadis saja, sehingga bisa bermain2 dengannya, dan dia juga bisa bermain2 denganmu; engkau bisa bercumbu rayu dengannya, dan dia pun juga.”
Jabir menjawab, “Sesungguhnya aku memiliki banyak saudara perempuan (yang masih kecil), aku ingin memiliki istri yang bisa mengurusi dan melayani keperluan mereka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sebaik-baik wanita adalah yang mengendarai unta (wanita Arab), dan
sebaik-baik wanita adalah Quraisy, karena mereka lebih penyayang
terhadap anak2 kecil, dan lebih bisa menjaga/amanah terhadap harta
suaminya.” [Bukhari dan Muslim]
Maka, wajib bagi istri untuk berkhidmah kepada suaminya dengan cara yang baik.
Allah tidaklah membebani seseorang di luar batas kemampuannya, atau sesuatu yang di luar keumuman adat kebiasaan yang berlaku.
Misalnya: di suatu masyarakat tertentu ada kebiasaan untuk seorang istri melayani dengan sempurna seluruh kebutuhan suaminya.
Maka, wanita ketika ingin dinikahi hendaknya dia memberikan syarat kepada calon suaminya untuk tidak melakukan khidmah yang seperti itu.
Allah tidaklah membebani seseorang di luar batas kemampuannya, atau sesuatu yang di luar keumuman adat kebiasaan yang berlaku.
Misalnya: di suatu masyarakat tertentu ada kebiasaan untuk seorang istri melayani dengan sempurna seluruh kebutuhan suaminya.
Maka, wanita ketika ingin dinikahi hendaknya dia memberikan syarat kepada calon suaminya untuk tidak melakukan khidmah yang seperti itu.
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah menyebutkan sebagian hak suami atas istrinya.
Dan telah diketahui bersama, bahwa hak suami atas istrinya sangatlah besar.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, “Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, sungguh aku akan
perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Wanita yang beriman, salihah, dan bertakwa akan selalu menjalankan seluruh perkara yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Inilah sebab yang akan mengantarkannya kepada kebahagiaan, dan memasukkan wanita ke dalam jannah-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
wanita telah shalat 5 waktu, menunaikan zakat hartanya, menjaga
kemaluannya, menaati suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah kamu ke
jannah dari pintu mana saja yang kamu inginkan.’”
Laki2 adalah pemimpin bagi wanita.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki2) atas sebagian yang lain (wanita); dan karena mereka (laki2) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [al-Ahzab: 34]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki2) atas sebagian yang lain (wanita); dan karena mereka (laki2) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [al-Ahzab: 34]
Kenapa Allah letakkan kepemimpinan pada laki2?
Hal itu karena 2 perkara:
1. Karena kelebihan yang Allah berikan atas sebagian mereka (laki2) di atas sebagian yang lainnya (wanita).
Laki2 dilebihkan atas wanita pada banyak perkara, di antaranya dalam permasalahan diyat, warisan, dan persaksian.Hal itu karena 2 perkara:
1. Karena kelebihan yang Allah berikan atas sebagian mereka (laki2) di atas sebagian yang lainnya (wanita).
2. Karena nafkah yang mereka berikan kepada istri.
Maka, seseorang yang telah menafkahi wanita, dia memiliki hak atas wanita tersebut.
Demikianlah Allah berfirman (yang artinya), “Akan tetapi
para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”
[al-Baqarah: 228]
Maka, suami diperintahkan untuk mempergauli istri dengan
baik, begitu pula istri, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya),
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang baik.” [al-Baqarah: 228]
Di antara hak suami atas istrinya pula adalah:
-Engkau tidak berpuasa sunnah kecuali dengan seizin suami.
-Engkau menaati suami dalam perkara yang baik, bukan dalam kemaksiatan.
-Engkau tidak berpuasa sunnah kecuali dengan seizin suami.
-Engkau menaati suami dalam perkara yang baik, bukan dalam kemaksiatan.
Wahai para wanita,
hendaknya engkau semangat untuk meraih ridha suami, berpenampilan bagus dan menarik di hadapan suami, berakhlak yang baik bersamanya, menjaga harta suami dan kehormatan dirinya di saat suami tidak ada di sisinya, mengurusi, melayani, menjaga, dan mendidik putra-putrinya, dan berbuat baik kepada orang tua serta karib kerabatnya.
hendaknya engkau semangat untuk meraih ridha suami, berpenampilan bagus dan menarik di hadapan suami, berakhlak yang baik bersamanya, menjaga harta suami dan kehormatan dirinya di saat suami tidak ada di sisinya, mengurusi, melayani, menjaga, dan mendidik putra-putrinya, dan berbuat baik kepada orang tua serta karib kerabatnya.
Itulah beberapa kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang istri terhadap suaminya.
Sekali lagi, wajib bagi para istri untuk bersemangat dalam membahagiakan suaminya.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber
: Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh asy-Syaikh
Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits
al-Fiyush. Disusun Oleh: Al Ustadz Abu Umar Ibrohim Fiyuz Yaman, Dikumpulkan Oleh: dr. Abu Hana El-Firdan
Forward dari WhatsApp SalafyIndonesia
0 komentar:
Posting Komentar