A. SEJARAH
KABUPATEN SOPPENG
I.
PENDAHULUAN
Pengungkapan
hari jadi Soppeng sangat besar arti dan maknanya, baik bagi generasi saat ini
maupun generasi mendatang, sehingga mereka dapat memahami dan mengetahui
kejayaan masyarakat Soppeng pada masa lalu, sebagai acuan dalam membangun masa
depan yang lebih baik.
II.
ASAL MULA NAMA SOPPENG
Asal
mula nama Soppeng para pakar dan budayawan belum ada kesepakatan bahwa dalam
sastra bugis tertua I LAGALIGO telah tertulis nama kerajaan Soppeng yang
berbunyi :
“
IYYANAE SURE PUADA ADAENGNGI TANAE RI SOPPENG, NAWALAINNA SEWO-GATTARRENG, NONI
MABBANUA
TAUWE RI SOPPENG, NAIYYA TAU SEWOE IYANARO RI YASENG TAU SOPPENG RIAJA, IYYA TAU GATTARENGNGE IYANARO
RIASENG TAU SOPPENG RILAU.
TAUWE RI SOPPENG, NAIYYA TAU SEWOE IYANARO RI YASENG TAU SOPPENG RIAJA, IYYA TAU GATTARENGNGE IYANARO
RIASENG TAU SOPPENG RILAU.
Berdasarkan
naskah lontara tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penduduk tanah
Soppeng mulanya datang dari dua tempat yaitu sewo dan Gattareng.
Didalam
lontara tertulis bahwa jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Soppeng telah ada
kekuasaan yang mengatur jalannya Pemerintahan yang berdasarkan kesepakatan 60 Pemuka
Masyarakat, hal ini dilihat dari jumlah Arung, Sullewatang, Paddanreng, dan
Pabbicara yang mempunyai daerah kekuasaan sendiri yang dikoordini olih
LILI-LILI. Namun suatu waktu terjadi suatu musim kemarau disana sini timbul
huru-hara, kekacauan sehingga kemiskinan dan kemelaratan terjadi dimana-mana
olehnya itu 60 Pemuka Masyarakat bersepakat untuk mengangkat seorang junjungan
yang dapat mengatasi semua masalah tersebut. Tampil Arung Bila mengambil
inisiatif mengadakan musyawarah besar yang dihadiri 30 orang matoa dari Soppeng
Riaja dan 30 orang Matoa dari Soppeng Rilau, sementara musyawarah berlangsung,
seekor burung kakak tua terbang mengganggu diantara para hadirin dan Arung Bila
memerintahkan untuk menghalau burung tersebut dan mengikuti kemana mereka
terbang. Burung Kakak Tua tersebut akhirnya sampai di Sekkanyili dan ditempat
inilah ditemukan seorang berpakaian indah sementara duduk diatas batu, yang
bergelar Manurungnge Ri Sekkanyili atau LATEMMAMALA sebagai pemimpin yang
diikuti dengan IKRAR, ikrar tersebut terjadi antara LATEMMAMALA dengan rakyat
Soppeng.
Demikianlah
komitmen yang lahir antara Latemmamala dengan rakyat Soppeng, dan saat itulah
Latemmamala menerima pengangkatan dengan Gelar DATU SOPPENG, sekaligus sebagai
awal terbentuknya Kerajaan Soppeng, dengan mengangkat Sumpah di atas Batu yang
di beri nama “ LAMUNG PATUE” sambil memegang segenggam padi dengan mengucapkan
kalimat yang artinya “isi padi tak akan masuk melalui kerongkongan saya bila
berlaku curang dalam
melakukan Pemerintahan selaku Datu Soppeng ”.
melakukan Pemerintahan selaku Datu Soppeng ”.
IV.
PERUMUSAN HARI JADI SOPPENG
Soppeng
yang memiliki sejarah cemerlang dimasa lalu, dengan memperhatikan berbagai
masukan agar penempatan Hari Jadi Soppeng, diadakan seminar karena kurang tepat bila dihitung
dari saat dimulainya Pelaksanaan Undang-undang Darurat Nomor 04 Tahun 1957, sebab jauh sebelumnya didalam
lontara, Soppeng telah mengenal sistem Pemerintahan yang Demokrasi dibawah
kepemimpinan Raja dan Datu. Maka dilaksanakanlah Seminar Sehari pada Tanggal 11
Maret 2000, yang dihadiri oleh para pakar, Budayawan, Seniman, Ahli
Sejarah, Tokoh Masyarakat, AlimUlama, Generasi Muda dan LSM, dimana disepakati bahwa hari Jadi Soppeng dimulai sejak
Pemerintahan TO MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA tahun 1261, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan
BACKWARD CONTING, dan mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Soppeng untuk dibahas dalam Rapat Paripurna dan mengesahkan untuk
dijadikan salam suatu Peraturab Daerah tentang Hari Jadi Soppeng.
V.
PENETAPAN HARI JADI SOPPENG
Dari
hasil rapat Paripurna Dewan perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Soppeng, Tanggal
12 Maret 2001 telah menetapkan dan mengesahkan suatu Peraturan Daerah Kabupaten
Soppeng, Nomor 09 Tahun 2001, Tanggal 12 Maret 2001, bahwa Hari Jadi Soppeng
Jatuh pada Tanggal 23 Maret 1261. Ringkasan arti dari pemakaian Hari jadi
Soppeng yakni angka 2 dan angka 3, karena angka tersebut mempunyai makna
sejarah dan filosofi sebagai berikut :
1.
Angka 2 menunjukkan :
a. Dua ke Datuan yakni Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja
b. Dua Tomanurung yaitu : TOMANURUNG RI SEKKANYILI DAN TO MANURUNG RI GORIE.
c. Dua Cakkelle/Burung Kakaktua yang memperebutkan setangkai padi, yang merupakan petunjuk para matoa yangbermusyawarah mengatasi krisi kelaparan, akhirnya menemukan Tomanurungnge RI SEKKANYILI
d. Dua Pegangan hidup yaitu kejujuran dan keadilan.
e. Dua hal yang tidak bisa dihindari yaitu nasib dan takdir.
f. Dua tanranna namaraja tanaE
- Seorang pemimpin harus jujur dan pintar
- Masyarakat hidup aman, tentram dan damai.
a. Dua ke Datuan yakni Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja
b. Dua Tomanurung yaitu : TOMANURUNG RI SEKKANYILI DAN TO MANURUNG RI GORIE.
c. Dua Cakkelle/Burung Kakaktua yang memperebutkan setangkai padi, yang merupakan petunjuk para matoa yangbermusyawarah mengatasi krisi kelaparan, akhirnya menemukan Tomanurungnge RI SEKKANYILI
d. Dua Pegangan hidup yaitu kejujuran dan keadilan.
e. Dua hal yang tidak bisa dihindari yaitu nasib dan takdir.
f. Dua tanranna namaraja tanaE
- Seorang pemimpin harus jujur dan pintar
- Masyarakat hidup aman, tentram dan damai.
2.
Angka 3 menunjukkan :
a. adanya perjanjian 3 kerajaan yaitu : Bone, Soppeng dan Wajo yang dikenal dengan Tellu PoccoE.
b. Taring Tellu Menunjukkan tempat bertumpu yang sangat kuat dan stabil.
c. TELLU RIALA SAPPO, yaitu TAUE RIDEWATAE, TAUE RI WATAKKALE, TAUE RI PADATTA RUPA TAU.
d. TELLU EWANGENNA LEMPUE, yaitu kejujuran, kebenaran dan keteguhan.
a. adanya perjanjian 3 kerajaan yaitu : Bone, Soppeng dan Wajo yang dikenal dengan Tellu PoccoE.
b. Taring Tellu Menunjukkan tempat bertumpu yang sangat kuat dan stabil.
c. TELLU RIALA SAPPO, yaitu TAUE RIDEWATAE, TAUE RI WATAKKALE, TAUE RI PADATTA RUPA TAU.
d. TELLU EWANGENNA LEMPUE, yaitu kejujuran, kebenaran dan keteguhan.
3.
Angka Dua Tellu bermakna :
a. Dua Tellu bermakna antara lain murah reski.
b. – Dua temmasarang, artinya Allah dan hambanya tidak pernah berpisah.
- Tellu temmalaiseng, artinya Allah Malaikat dan hamba selalu bersama-sama.
c. Tellu Dua Macciranreng, Tellu- Tellu Tea Pettu bermakna berpintal dua sangat rapu, berpintal tiga tidak akan putus.
d. – Mattulu Parajo Dua Siranreng teppettu sirangreng.
- Marutte Parajo, Mattulu Tellu Tempettu Silariang, bermakna tidak saling membohongi, nanti akan putus jika putus bersama.
a. Dua Tellu bermakna antara lain murah reski.
b. – Dua temmasarang, artinya Allah dan hambanya tidak pernah berpisah.
- Tellu temmalaiseng, artinya Allah Malaikat dan hamba selalu bersama-sama.
c. Tellu Dua Macciranreng, Tellu- Tellu Tea Pettu bermakna berpintal dua sangat rapu, berpintal tiga tidak akan putus.
d. – Mattulu Parajo Dua Siranreng teppettu sirangreng.
- Marutte Parajo, Mattulu Tellu Tempettu Silariang, bermakna tidak saling membohongi, nanti akan putus jika putus bersama.
4.
dipilihnya bulan tiga atau maret Karena :
a. Bulan Terbentuknya Kabupaten Soppeng
b. Bulan Pelaksanaan Seminar hari Jadi Soppeng.
a. Bulan Terbentuknya Kabupaten Soppeng
b. Bulan Pelaksanaan Seminar hari Jadi Soppeng.
5.
selain itu angka dua atau tiga juga bermakna :
- jika angka 2 + 3 = 5 yang berarti :
a. makna kata dalam huruf karawi lambing Daerah yaitu ADE, RAPANG, WARI, BICARA, SARA ’
b. Rukun Islam
c. Pancasila
- jika angka 2 X 3 = 6 yang bermakna : Rukun Islam
- jika angka 2 + 3 = 5 yang berarti :
a. makna kata dalam huruf karawi lambing Daerah yaitu ADE, RAPANG, WARI, BICARA, SARA ’
b. Rukun Islam
c. Pancasila
- jika angka 2 X 3 = 6 yang bermakna : Rukun Islam
6.
dipilihnya tahun 1261 adalah menggunakan BACKWARD COUNTING, yaitu pemerintahan
Datu Soppeng pertama TAU MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA pada tahun 1261.
sehingga dengan demikian hari jadi Soppeng
ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1261.
ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1261.
IV.
PENUTUP
Demikianlah
sekaligus sejarah singkat Hari jadi soppeng, untuk diperingati setiap Tahun
oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng bersama seluruh masyarakat untuk bersama-sama
dalam melaksanakan kegiatan dan mengisi Pembangunan, sekaligus kita bangga
sebagai warga Masyarakat Soppeng dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN SOPPENG
1. Dalam mytologie pembentukan pemerintahan
teratur, pertama burung kakatua digambarkan sebagai duta pembawa berita
sehingga diketemukan Raja pertama dari Soppeng yang membawa daerah ini kepada
keamanan, keadilan dan kemakmuran.
2. Kabupaten Soppeng dari dahulu adalah daerah
agraris menyebabkan rakyatnya makmur dan dapat mengekspor bahan pangan seperti
beras, jagung, kedele, kacang tanah, wijen. Begitupun tanaman-tanaman tahunan seperti
tembakau, bawang dan lain-lain.
3. a. "Karawi " adalah hiasan kanak-kanak yang digantung
didadanya, biasanya diberikan ukiran-ukiran merupakan azimat.
b. Lukisan tengah dari karawi
ini, merupakan gambar bunga yang bertajuk lima,
melambangkan azimat Kabupaten Soppeng.
c. Lukisan pinggir karawi
merupakan kata bahasa daerah yang diambil dari kalimat berbunyi : "
Eppamua Parajai Tanah, Iyami Naripagenne Lima Rirapimami AsellengengE
Naritambaina Koritu Sara, Iyanaritu : Pammulanna Ade Maduanna Rapang,
Matellunna Bicara, Maeppana Wari, Malimanna Sara.
d. Makna kata-kata adat itu adalah :
Ade, maknanya keselarasan guna kebaikan umum
Rapang, maknanya hukum/pedoman
bicara, maknanya mufakat kepada yang bernilai tinggi atau peradilan
wari, maknanya pembidangan dan pembatasan untuk ketegasan batas-batas dan kedudukan tiap sesuatu
sara, maknanya hukum agama
Rapang, maknanya hukum/pedoman
bicara, maknanya mufakat kepada yang bernilai tinggi atau peradilan
wari, maknanya pembidangan dan pembatasan untuk ketegasan batas-batas dan kedudukan tiap sesuatu
sara, maknanya hukum agama
Sesungguhnya
kelima azas ini menjadi petunjuk dalam setiap bidang kehidupan.
4. a. Semboyan ini berasal dari
kalimat amanat masyarakat kepada pucuk pimpinan pemerintahan dikala
pelantikannya. Dahulu diucapkan oleh Matoa Bila atas nama rakyat kepada Datu
yang menerima pemerintahan kekayaan Soppeng antara lain berbunyi : "
Dongirikeng temmatipa, salipurikkeng temmadinging, wessekkeng temmakapa".
b. Arti semboyan ini :
Dongiri
Temmatipa, yaitu membimbing dan mara
pejabat pemerintah setiap waktu memberikan perhatian kepada karya rakyat dan
dimana perlu memberi bimbingan kepada kesempurnaannya supaya kerja itu membawa
hasil yang menguntungkan.
Salipuri
Temmadinging, yaitu memelihara kesehatan badaniah dan
bathiniah. Dimaksud agar pejabat pemerintah mengusahakan pengadaan sandang,
perumahan dan pendidikan, supaya rakyat dengan segala kegiatannya dapat
dilaksanakan dengan baik. Hendaknya dipergunakan semboyan " Beribadatlah
agar dalam tubuh yang sehat bersemayam jiwa yang sehat".
Wesse Temmakapa, yaitu mengusahakan kerukunan dan kedamaian antara semua golongan dan anggota-anggota masyarakat supaya masyarakat itu merupakan kesatuan tenaga yang besar guna menghadapi setiap kerja pembangunan.
Wesse Temmakapa, yaitu mengusahakan kerukunan dan kedamaian antara semua golongan dan anggota-anggota masyarakat supaya masyarakat itu merupakan kesatuan tenaga yang besar guna menghadapi setiap kerja pembangunan.
Hubungan
semboyan dongiri temmatipa dan wessetemmakapa mengisyaratkan bahwa pengadaan
bahan pangan rakyat mendapat perhatian sepenuhnya guna kemajuaannya dimana
daerah ini terkenal dengan julukan lumbung padi.
5. Warna Lambang :
Latar
belakang warna biru muda
Bulu
kakatua warna putih, paru dan kaki warna abu-abu
Padi warna kuning emas
Buah Kapas : a. Bijinya warna putih. b. Kelopaknya warna kuning muda.
Karawi warna kuning emas dan huruf bugisnya warna hitam
Pita dibawah lambang warna merah dan huruf bugisnya warna putih.
Padi warna kuning emas
Buah Kapas : a. Bijinya warna putih. b. Kelopaknya warna kuning muda.
Karawi warna kuning emas dan huruf bugisnya warna hitam
Pita dibawah lambang warna merah dan huruf bugisnya warna putih.
6. Kata-kata
bahasa daerah dalam lukisan karawi, begitupun semboyang diatas pita diukir
dengan bahasa daerah dan huruf lontara (daerah) yang menggambarkan kebudayaan
daerah yang sudah tua umurnya.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
2 . KABUPATEN
WAJO
A. SEJARAH
KABUPATEN WAJO
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di
bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak
raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
1.
Kerajaan
2.
Republik
3.
Federasi, yang belum ada duanya
pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO.
Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang
berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara
lain :
1.
LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
2.
PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG
SIMETTENGPOLA
3.
LAMUNGKACE TOADDAMANG
4.
LATENRILAI TOSENGNGENG
5.
LASANGKURU PATAU
6.
LASALEWANGENG TO TENRI RUA
7.
LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG,
ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
8.
LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang
menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
1.
Versi Puang Rilampulungeng
2.
Versi Puang Ritimpengen
3.
Versi Cinnongtabi
4.
Versi Boli
5.
Versi Kerajaan Cina
6.
Versi masa Kebataraan
7.
Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari
Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama
LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan
sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya
bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi,
menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya,
LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang
diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan
dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan
tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata
Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi
perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI
RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya
perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI
PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung
Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya
dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo
yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan
beberapa versi, yakni :
1.
Versi tanggal 18 Maret, ketika
armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau
Barrang dan Koddingareng.
2.
Versi tanggal 29 Maret, ketika
dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur
pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
3.
Versi tanggal 16 Mei, ketika
Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama
Islam.
4.
Versi ketika Andi Ninnong
Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG
di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara
Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari
Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah
ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa
ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh
berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang
sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan
ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan
disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE
MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya
perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya
ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini
dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai
Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini
dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di
Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap
perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula
raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum),
dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU
MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE,
ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau
menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di
Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi
jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung
Simettengpola mengemukakan”NAPULEBBIRENGNGI TO
WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG,
NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG
PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING
MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung
tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja
keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna
dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh
Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa
pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo
mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun
disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan
mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi
manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public
servent) dan konsep Rule of Law(hukum yang dipertuan bukan
raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam
Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah
Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA
TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak
dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat)
merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA
PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA,
NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA,
PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE.
NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E
MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE,
NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI,
PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG,
LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang
membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan
teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling
mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan
mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena
kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan
kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan
menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan
mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke
barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh
orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun
dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo,
yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN WAJO
- POHON BAJO
- Bertangkai/cabang tiga ialah bentuk asal daerah Kabupaten Wajo yang terdiri dari tiga Limpo, yaitu :
i.
Majauleng (Benteng Pola)
ii.
Sabbangparu (Talotenreng)
iii.
Takkalalla (Tua)
- Batang lurus ialah bercita-cita tinggi penuh kejujuran
- Daun sebanyak 30 lembar dan hijau melambangkan dewan rakyat wajo (ketika terciptanya republic wajo pada abad XIV) sedang warna hijau cita-cita kemakmuran negeri.
- Pada akar pohon tertulis aksara bugis menyatakan asal perkataan wajo.
- PITA
Pada pita terbentang terdapat salah satu dari pandangan masyarakat /rakyat wajo “MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG” yang artinya Rakyat Wajo merdeka, konsitusinya yang dipertuan dengan warna hijau di artikan makmur subur. - PADI, JAGUNG, IKAN GULA
Kesemuanya melambangkan kemakmuran yang Pokok Daerah Wajo - LETER W.
Letter w yang terbentuk ornament (hiasan) melambangkan seni ukir (kesenian yang berkembang di kabupaten wajo) - WARNA KUNING DAN MERAH
- merah berarti berani karena benar
- kuning berarti indah dan mulia
- kedua warna tersebut warna simbolis bagi jiwa masyarakat wajo
- WARNA DASAR
Bidang lambang berwarna putih yang diapit merah mencerminkan kepribadian masyarakat / rakyat wajo yaitu keberanian yang disandarkan pada kesucian - BENTUK LAMBANG
Bentuk perisai/tameng artinya kesiapsiagaan menghadapi setiap kemungkinan yang mengancam Masyarakat Wajo.
Sumber
: http://www.depdagri.go.id
3. KABUPATEN
SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)
A. SEJARAH
KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)
Di daerah ini pernah hidup
seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang
Sidenrengdan Addatuang Rappang (Addatuang adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang
bernama 'Nenek Mallomo'. Dia bukan berasal dari
kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan
pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai
saat ini masih diabadikan di Sidenreng, yaitu: Naiya Ade'e
De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya: Sesungguhnya ADAT
itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak.
Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil
oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri
peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo'
disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo,
Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo dan sebagainya.
Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek
Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat
setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG
SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai
suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara' ahli mengenai buku
Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat adat.
Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai
oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah
lain pun sudah menerapkannya
A. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)
- Tangan yang menggenggam melambangkan semangat kerja persatuan yang kokoh dan kegotong royongan.
- Keris yang berwarna hijau melambangkan sifat-sifat patriotik dan perwira.
- Pita yang berwarna Merah dan Putih melambangkan bahwa penduduk daerah ini turut aktif mengambil bagian dalam perjuangan menentang kolonialisme/imperealisme serta mengikis habis sisa-sisa kontrarevolusioner G 30 S PKI/Atheis.
- Padi melambangkan unsur kemakmuran yang dihasilkan oleh daerah ini sebagai karunia Tuhan yang Maha esa, yang dapat disumbangkan bagi kemakmuran Bangsa dan Negara Indonesia.
- Butir padi sebanyak 17 dalam satu tangkai melambangkan angka keramat dalam perjuangan Bangsa Indonesia yaitu 17 Agustus 1945.
- Warna Kuning Emas pada bulir padi melambangkan ketegasan dalam keyakinan dalam melanjutkan perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta dirihoi oleh Allah SWT.
- Warna Hijau yang mendasari lambang sebagai simbol kejujuran, simpatik, dan toleransi.
- Warna Putih melambangkan kesucian, kebenaran, dan keadilan.
- Bintang berwarna kuning emas melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyinari segala aspek kehidupan masyarakat Sidenreng Rappang.
- Empat lembar daun padi melambangkan ciri demokrasi telah ditegakkan di daerah ini sejak dahulu melalui pemangku adat yang digelar Pabbicara, dimana setiap keputusan/kebijakan yang Addatuang harus melalui persetujuan pemangku adat.
- Warna Kuning pada daun padi melambangkan kemuliaan keagamaan sebagai ciri masyarakat Sidenreng Rappang.
- Huruf S yang dibentuk oleh daun padi merupakan singkatan dari Sidenreng dan huruf R yang dibentuk oleh bulir padi dan sehelai daun yang melintang pada keris adalah singkatan dari Rappang. Ini melambangkan kesatupaduan dari dua bekas swapraja yang membentuk Kabupaten Sidenreng Rappang.
- Wadah yang dibentuk perisai melambangkan sifat persatuan rakyat dalam menerjang segala macam bentuk ronrongan baik dari dalam maupun dari luar.Lihat Selengkapnya
Sumber : http://www.depdagri.go.id
1. KOTA
PARE-PARE
A. SEJARAH
KOTA PARE-PARE
Diawal perkembangannya dataran tinggi yang sekarang ini, yang
disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang
diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring tempat
tumbuhnya semak-semak tersebut secara liar dan tidak teratur, mulai dari utara
(Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses
perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak
Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah
tersendiri pada tepian pantai karena hobbynya memancing. Wilayah itu kemudian
dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar
abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia
II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya
tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan
keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian
Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat
Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing
Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang
Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun
1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No.
2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti
menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.
Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KOTA PARE-PARE
Bendera
Merah Putih
· Bendera kebangsaan Negara
Republik Indonesia, Perlambang Persatuan dan Kesatuan dari Rakyat Indonesia;
·
Warna merah adalah Melambangkan
Keberanian;
·
Warna Putih adalah Melambangkan
Kesucian.
Bintang Persegi Lima warna
kuning emas mengandung makna :
·
Pancasila sebagai falsafah
hidup rakyat dan negara RI;
·
Cita-cita luhur dari rakyat
Parepare untuk mencapai taraf hidup yang layak dan yang lebih baik dari masa
lampau.
Perahu
(Bentuk Lambo) dengan layar terkembang, yang seluruhnya berwarna putih diatas
tiga gelombang laut yang berwarna biru mengandung makna :
·
Kekayaan yang dimiliki Bangsa
Indonesia di lautan;
· Bahtera sebagai sarana yang
digunakan untuk mencapai cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Pohon
Kelapa, Buah, Padi, Bunga Kapas ketiga-tiganya adalah termasuk bahan pokok
keperluan sandang, pangan, yang melambangkan kemakmuran dengan makna sebagai
berikut :
·
Pohon kelapa warna hitam
melambangkan keuletan/kekokohan;
·
Warna kuning pada buah padi
melambangkan keluhuran dan kebesaran;
·
Warna putih bersih pada bunga
kapas melambangkan kesucian.
Garis
Sejajar yang berwarna hitam dan putih pada sekeliling pinggir perisai melambangkan
ketahanan yang kokoh dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nan manual dan
kesinambungan.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
0 komentar:
Posting Komentar