SEJARAH DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN SOPPENG, KABUPATEN WAJO, KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP) DAN KOTA PARE-PARE - PROVINSI SULAWESI SELATAN

1.      KABUPATEN SOPPENG
A.     SEJARAH KABUPATEN SOPPENG

I. PENDAHULUAN
Pengungkapan hari jadi Soppeng sangat besar arti dan maknanya, baik bagi generasi saat ini maupun generasi mendatang, sehingga mereka dapat memahami dan mengetahui kejayaan masyarakat Soppeng pada masa lalu, sebagai acuan dalam membangun masa depan yang lebih baik.

II. ASAL MULA NAMA SOPPENG
Asal mula nama Soppeng para pakar dan budayawan belum ada kesepakatan bahwa dalam sastra bugis tertua I LAGALIGO telah tertulis nama kerajaan Soppeng yang berbunyi :
“ IYYANAE SURE PUADA ADAENGNGI TANAE RI SOPPENG, NAWALAINNA SEWO-GATTARRENG, NONI MABBANUA
TAUWE RI SOPPENG, NAIYYA TAU SEWOE IYANARO RI YASENG TAU SOPPENG RIAJA, IYYA TAU GATTARENGNGE IYANARO
RIASENG TAU SOPPENG RILAU.
Berdasarkan naskah lontara tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penduduk tanah Soppeng mulanya datang dari dua tempat yaitu sewo dan Gattareng.
III. PENGANGKATAN DATU PERTAMA KERAJAAN SOPPENG
Didalam lontara tertulis bahwa jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Soppeng telah ada kekuasaan yang mengatur jalannya Pemerintahan yang berdasarkan kesepakatan 60 Pemuka Masyarakat, hal ini dilihat dari jumlah Arung, Sullewatang, Paddanreng, dan Pabbicara yang mempunyai daerah kekuasaan sendiri yang dikoordini olih LILI-LILI. Namun suatu waktu terjadi suatu musim kemarau disana sini timbul huru-hara, kekacauan sehingga kemiskinan dan kemelaratan terjadi dimana-mana olehnya itu 60 Pemuka Masyarakat bersepakat untuk mengangkat seorang junjungan yang dapat mengatasi semua masalah tersebut. Tampil Arung Bila mengambil inisiatif mengadakan musyawarah besar yang dihadiri 30 orang matoa dari Soppeng Riaja dan 30 orang Matoa dari Soppeng Rilau, sementara musyawarah berlangsung, seekor burung kakak tua terbang mengganggu diantara para hadirin dan Arung Bila memerintahkan untuk menghalau burung tersebut dan mengikuti kemana mereka terbang. Burung Kakak Tua tersebut akhirnya sampai di Sekkanyili dan ditempat inilah ditemukan seorang berpakaian indah sementara duduk diatas batu, yang bergelar Manurungnge Ri Sekkanyili atau LATEMMAMALA sebagai pemimpin yang diikuti dengan IKRAR, ikrar tersebut terjadi antara LATEMMAMALA dengan rakyat Soppeng.
Demikianlah komitmen yang lahir antara Latemmamala dengan rakyat Soppeng, dan saat itulah Latemmamala menerima pengangkatan dengan Gelar DATU SOPPENG, sekaligus sebagai awal terbentuknya Kerajaan Soppeng, dengan mengangkat Sumpah di atas Batu yang di beri nama “ LAMUNG PATUE” sambil memegang segenggam padi dengan mengucapkan kalimat yang artinya “isi padi tak akan masuk melalui kerongkongan saya bila berlaku curang dalam
melakukan Pemerintahan selaku Datu Soppeng ”.

IV. PERUMUSAN HARI JADI SOPPENG
Soppeng yang memiliki sejarah cemerlang dimasa lalu, dengan memperhatikan berbagai masukan agar penempatan Hari Jadi Soppeng, diadakan seminar karena kurang tepat bila dihitung dari saat dimulainya Pelaksanaan Undang-undang Darurat Nomor 04 Tahun 1957, sebab jauh sebelumnya didalam lontara, Soppeng telah mengenal sistem Pemerintahan yang Demokrasi dibawah kepemimpinan Raja dan Datu. Maka dilaksanakanlah Seminar Sehari pada Tanggal 11 Maret 2000, yang dihadiri oleh para pakar, Budayawan, Seniman, Ahli Sejarah, Tokoh Masyarakat, AlimUlama, Generasi Muda dan LSM, dimana disepakati bahwa hari Jadi Soppeng dimulai sejak Pemerintahan TO MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA tahun 1261, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan BACKWARD CONTING, dan mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Soppeng untuk dibahas dalam Rapat Paripurna dan mengesahkan untuk dijadikan salam suatu Peraturab Daerah tentang Hari Jadi Soppeng.

V. PENETAPAN HARI JADI SOPPENG
Dari hasil rapat Paripurna Dewan perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Soppeng, Tanggal 12 Maret 2001 telah menetapkan dan mengesahkan suatu Peraturan Daerah Kabupaten Soppeng, Nomor 09 Tahun 2001, Tanggal 12 Maret 2001, bahwa Hari Jadi Soppeng Jatuh pada Tanggal 23 Maret 1261. Ringkasan arti dari pemakaian Hari jadi Soppeng yakni angka 2 dan angka 3, karena angka tersebut mempunyai makna sejarah dan filosofi sebagai berikut :
1. Angka 2 menunjukkan :
a. Dua ke Datuan yakni Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja
b. Dua Tomanurung yaitu : TOMANURUNG RI SEKKANYILI DAN TO MANURUNG RI GORIE.
c. Dua Cakkelle/Burung Kakaktua yang memperebutkan setangkai padi, yang merupakan petunjuk para matoa yangbermusyawarah mengatasi krisi kelaparan, akhirnya menemukan Tomanurungnge RI SEKKANYILI
d. Dua Pegangan hidup yaitu kejujuran dan keadilan.
e. Dua hal yang tidak bisa dihindari yaitu nasib dan takdir.
f. Dua tanranna namaraja tanaE
- Seorang pemimpin harus jujur dan pintar
- Masyarakat hidup aman, tentram dan damai.

2. Angka 3 menunjukkan :
a. adanya perjanjian 3 kerajaan yaitu : Bone, Soppeng dan Wajo yang dikenal dengan Tellu PoccoE.
b. Taring Tellu Menunjukkan tempat bertumpu yang sangat kuat dan stabil.
c. TELLU RIALA SAPPO, yaitu TAUE RIDEWATAE, TAUE RI WATAKKALE, TAUE RI PADATTA RUPA TAU.
d. TELLU EWANGENNA LEMPUE, yaitu kejujuran, kebenaran dan keteguhan.

3. Angka Dua Tellu bermakna :
a. Dua Tellu bermakna antara lain murah reski.
b. – Dua temmasarang, artinya Allah dan hambanya tidak pernah berpisah.
- Tellu temmalaiseng, artinya Allah Malaikat dan hamba selalu bersama-sama.
c. Tellu Dua Macciranreng, Tellu- Tellu Tea Pettu bermakna berpintal dua sangat rapu, berpintal tiga tidak akan putus.
d. – Mattulu Parajo Dua Siranreng teppettu sirangreng.
- Marutte Parajo, Mattulu Tellu Tempettu Silariang, bermakna tidak saling membohongi, nanti akan putus jika putus bersama.

4. dipilihnya bulan tiga atau maret Karena :
a. Bulan Terbentuknya Kabupaten Soppeng
b. Bulan Pelaksanaan Seminar hari Jadi Soppeng.

5. selain itu angka dua atau tiga juga bermakna :
- jika angka 2 + 3 = 5 yang berarti :
a. makna kata dalam huruf karawi lambing Daerah yaitu ADE, RAPANG, WARI, BICARA, SARA ’
b. Rukun Islam
c. Pancasila
- jika angka 2 X 3 = 6 yang bermakna : Rukun Islam

6. dipilihnya tahun 1261 adalah menggunakan BACKWARD COUNTING, yaitu pemerintahan Datu Soppeng pertama TAU MANURUNGNGE RI SEKKANYILI atau LATEMMAMALA pada tahun 1261. sehingga dengan demikian hari jadi Soppeng
ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1261.

IV. PENUTUP
Demikianlah sekaligus sejarah singkat Hari jadi soppeng, untuk diperingati setiap Tahun oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng bersama seluruh masyarakat untuk bersama-sama dalam melaksanakan kegiatan dan mengisi Pembangunan, sekaligus kita bangga sebagai warga Masyarakat Soppeng dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


B.     ARTI DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN SOPPENG
1.   Dalam mytologie pembentukan pemerintahan teratur, pertama burung kakatua digambarkan sebagai duta pembawa berita sehingga diketemukan Raja pertama dari Soppeng yang membawa daerah ini kepada keamanan, keadilan dan kemakmuran.

2.  Kabupaten Soppeng dari dahulu adalah daerah agraris menyebabkan rakyatnya makmur dan dapat mengekspor bahan pangan seperti beras, jagung, kedele, kacang tanah, wijen. Begitupun tanaman-tanaman tahunan seperti tembakau, bawang dan lain-lain.

3.   a. "Karawi " adalah hiasan kanak-kanak yang digantung didadanya, biasanya diberikan ukiran-ukiran merupakan azimat.  
b. Lukisan tengah dari karawi ini, merupakan  gambar bunga yang bertajuk lima, melambangkan azimat  Kabupaten Soppeng.  
c. Lukisan pinggir karawi merupakan kata bahasa daerah yang diambil dari kalimat berbunyi : " Eppamua Parajai Tanah, Iyami Naripagenne Lima Rirapimami AsellengengE Naritambaina Koritu Sara, Iyanaritu : Pammulanna Ade Maduanna Rapang, Matellunna Bicara, Maeppana Wari, Malimanna Sara.
d. Makna kata-kata adat itu adalah :
Ade, maknanya keselarasan guna kebaikan umum 
Rapang, maknanya hukum/pedoman 
bicara, maknanya mufakat kepada yang bernilai tinggi atau peradilan 
wari, maknanya pembidangan dan pembatasan untuk ketegasan batas-batas dan kedudukan tiap sesuatu 
sara, maknanya hukum agama
Sesungguhnya kelima azas ini menjadi petunjuk dalam setiap bidang  kehidupan. 

4.  a. Semboyan ini berasal dari kalimat amanat masyarakat kepada pucuk pimpinan pemerintahan dikala pelantikannya. Dahulu diucapkan oleh Matoa Bila atas nama rakyat kepada Datu yang menerima pemerintahan kekayaan Soppeng antara lain berbunyi : " Dongirikeng temmatipa, salipurikkeng temmadinging, wessekkeng temmakapa".  
b. Arti semboyan ini : 
Dongiri Temmatipa, yaitu membimbing dan mara pejabat pemerintah setiap waktu memberikan perhatian kepada karya rakyat dan dimana perlu memberi bimbingan kepada kesempurnaannya supaya kerja itu membawa hasil yang menguntungkan. 
Salipuri Temmadinging, yaitu memelihara kesehatan badaniah dan bathiniah. Dimaksud agar pejabat pemerintah mengusahakan pengadaan sandang, perumahan dan pendidikan, supaya rakyat dengan segala kegiatannya dapat dilaksanakan dengan baik. Hendaknya dipergunakan semboyan " Beribadatlah agar dalam tubuh yang sehat bersemayam jiwa yang sehat".
Wesse Temmakapa, yaitu mengusahakan kerukunan dan kedamaian antara semua golongan dan anggota-anggota masyarakat supaya masyarakat itu merupakan kesatuan tenaga yang besar guna menghadapi setiap kerja pembangunan.
Hubungan semboyan dongiri temmatipa dan wessetemmakapa mengisyaratkan bahwa pengadaan bahan pangan rakyat mendapat perhatian sepenuhnya guna kemajuaannya dimana daerah ini terkenal dengan julukan lumbung padi.

5.   Warna Lambang :
Latar belakang warna biru muda
Bulu kakatua warna putih, paru dan kaki warna abu-abu 
Padi warna kuning emas
 
Buah Kapas :
 a. Bijinya warna putih. b. Kelopaknya warna kuning muda. 
Karawi warna kuning emas dan huruf bugisnya warna hitam
 
Pita dibawah lambang warna merah dan huruf bugisnya warna putih.

6.    Kata-kata bahasa daerah dalam lukisan karawi, begitupun semboyang diatas pita diukir dengan bahasa daerah dan huruf lontara (daerah) yang menggambarkan kebudayaan daerah yang sudah tua umurnya.
2 .     KABUPATEN WAJO
A.     SEJARAH KABUPATEN WAJO
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan, kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak raknyatnya. Adapun konsep pemerintahan adalah :
1.      Kerajaan
2.      Republik
3.      Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
1.      LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
2.      PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
3.      LAMUNGKACE TOADDAMANG
4.      LATENRILAI TOSENGNGENG
5.      LASANGKURU PATAU
6.      LASALEWANGENG TO TENRI RUA
7.      LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
8.      LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Tanah Wajo yang menjadi peletak dasar kebesaran dan kejayaan Wajo.
Beberapa versi tentang kelahiran Wajo, yakni :
1.      Versi Puang Rilampulungeng
2.      Versi Puang Ritimpengen
3.      Versi Cinnongtabi
4.      Versi Boli
5.      Versi Kerajaan Cina
6.      Versi masa Kebataraan
7.      Versi masa ke Arung Matoa-an
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli, yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo, di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI TIPPE secara berdua diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya Batara Langit di atasnya perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara, dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
1.      Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
2.      Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi, dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
3.      Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
4.      Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah Tanggal 29 Maret 1399.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Wajo pada masanya, disebabkan oleh berbagai aspek sebagaimana telah dikemukakan tedahulu, namun ada hal yang sangat hakiki yang perlu mendapatkan perhatian, yakni adanya kepatuhan dan ketaatan Raja dan rakyatnya terhadapat Pangadereng, Ade yang diwarisi dan disepakati, Ade Assiamengeng, Ade Amaradekangeng, sistem Ade dengan sitilah ADE MAGGILING JANCARA, serta berbagai falsafah hidup, pappaseng dan sebagainya.
Kepatuhan dan ketaatan rakyat Wajo terhadap rajanya, sebaliknya perhatian dan pengayoman raja terhadap rakyatnya adalah satu aspek terwujudnya ketentraman dan kedamaian dalam menjalankan pemerintahan pada masa itu. Hal ini dapat kita lihat, pada saat LA TIRINGENG TO TABA dalam kedudukannya sebagai Arung Simettengpola mengadakan perjanjian dengan rakyatnya. Perjanjian ini dikenal dengan ”LAMUNGPATUE RILAPADDEPA” (Penanaman batu = Perjanjian Pemerintahan di Lapaddeppa’).
Inti dari perjanjian ini ialah bahwa rakyat akan patuh terhadap perintah raja, asalkan atas kebaikan dan kemaslahatan rakyat, demikian pula raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya dengan dasar Ade, Pengadereng (hukum), dengan pengakuannya :
”IO TO WAJO, MAUTOSA MUPAMESSA’, MUA RIATIMMU, MUPAKEDOI RILILAMU MAELO’E PASSUKKA’ RIAKKARUNGEKKU RI BETTENGPOLA, MAPERING TOKKO NA BACU BACUE, ONCOPISA REKKO MUELOREKKA’MAJA’ MATTI PAJJEO TO WAJO”
Artinya :
Ya orang-orang Wajo, sekalipun menimbulkan dalam hatimu atau menggerakkan dalam lidahmu, hendak mengeluarkan aku dari jabatan kerajaanku di Bettengpola, engkau akan tersapu bersih dari pada tersapunya batu-batu. Apalagi jika kalian bermaksud jahat terhadapku, maka engkau kering bagaikan garam.
Pada bagian lain Petta Latiringeng To Taba Arung Sao Tanre, Arung Simettengpola mengemukakan”NAPULEBBIRENGNGI TO WAJJOE MARADEKA NAKKEADE’, NAMAFACCING RI GAU SALAE, NAMATINULU MAPPALAONG, NASABA RESOFA TEMMANGINGNGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA, NAMAFAREKKI WARANG PARANG, NASABA WARANG PARANGMITU WEDDING MAPPATUWO, WARANG PARANG MITU WEDDING MAPPAMATE”.
Artinya :
Yang menjadikan orang Wajo mulia ialah Kemerdekaan yang menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia, ia rajin bekerja, karena hanya dengan kerja keras sebagai titian untuk mendapatkan limpahan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hemat terhadap harta benda, karena harta benda orang bisa hidup sempurna dan harta benda pula bisa mematikan orang.
Apa yang telah diletakkan oleh Batara Wajo Pertama ini, oleh Batara Wajo dan Arung Matowa berikutnya terus dikembangkan sampai masa pemerintahan ARUNG MATOWA WAJO KEEMPAT: LATADAMPARE PUANG RIMAGGALATUNG, Wajo mencapai kejayaan. Pada masa pemerintahan inilah selama sepuluh tahun disempurnakan segala peraturan hukum adat, pemerintahan dan peradilan, dan mengajarkan etika pemerintahan, merealisasikan demokrasi dan hak-hak azasi manusia, konsep negara sebagai abdi rakyat (public servent) dan konsep Rule of Law(hukum yang dipertuan bukan raja).
Salah satu Ade Amaradekangengna yang dimuat secara terpencar dalam Lontarak Sukkuna Wajo, yang selanjutnya menjadi motto pada Lambang Daerah Kaubpaten Wajo (walaupun disingkatkan), antara lain berbunyai :
”MARADEKA TOWAJOE NAJAJIAN ALENA MARADEKA, TANAEMMI ATA, NAIYYA TOMAKKETANAE MARADEKA MANENG, ADE ASSAMA TURUSENNAMI NAPOPUANG”.
Artinya :
Orang-orang Wajo, adalah orang merdeka, mereka merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abdi, sedangkan si pemilik negeri (rakyat) merdeka semua dan hanya hukum adat yang disetuji bersama yang mereka pertuan.
Kebesaran dan kemuliaan Tana Wajo disebutkan dalam Lontarak :
MAKKEDATOI ARUNG SAOTANRE PETTA TO TABA’ LA TIRINGENG : ”NAIA PARAJAIENGNGI WAJO’, BICARA MALEMPU’E NAMAGETTENG RI ADE’ MAPPURAONRONA, NAMASSE’ RI ADE’ AMMARADEKANGENNA IA TONA PASIAMASENGNGE TAUE RI LALEMPANUA, PASIO’DANINGNGE TAU TEMMASSEAJINGNGENG, NASSEKITOI ASSEAJINGENNA TANAE. NAPOALIE’-BIRETTOI TO WAJO’E MARADEKAE, NAIATOSI NAPOASALAMAKENGNGE TO WAJO’E MAPACCINNA ATINNA NAMALEMPU’, NAMATIKE’, NAMATUTU, NAMETAU’ RI DEWATA SEAUAE, NAMASIRI’ RIPADANNA TAU. LATONARO KUAE PACCOLLI’I PA’DAUNGNGI WAJO’, PATTAKKEI, PAPPALEPANGNGI, PAPPARANGA-RANGAI, NALORONG LAO ORAI’, LAO ALAU’, LAO MANINAG, LAO MANORANG, MATERENG RAUNNA MACEKKE’ RIANNAUNGI RI TO WAJO’E”.
Artinya :
Berkata pula Arung Saotanre Tuan Kita To Taba’ La Tiringeng: ”Yang membesarkan Wajo, ialah peradilan yang jujur, getang pada adat tetapnya dan teguh pada adat kebesarannya. Itu pula yang menyebabkan orang-orang saling mengasihi di dalam negeri, saling merindui orang-orang yang tidak bersanak dan mengukuhkan persahabatan negeri. Menjadikan pula orang-orang Wajo mulia karena kebebasannya. Yang menyelamatkan orang-orang Wajo, ialah ketulusan hatinya dan kejujurannya lagi waspada, berhati-hati, takut kepada Dewata Yang Esa dan menghargai harkat sesamanya manusia. Yang demikian itulah yang memutikkan dan mendaunkan Wajo, menangkaikan dan memelepahkan serta melebarkannya, menjalar ke barat, timur, selatan dan ke utara, rimbun dan dingin daunnya dinaungi oleh orang-orang Wajo”.
Nilai-nilai luhur yang antara lain dikemukakan di atas, maupun dalam Lontarak Sukkuna Wajo adalah kearifan yang menjadi jati diri rakyat Wajo, yang seharusnya kita kembangkan dan lestarikan.

B.     ARTI DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN WAJO
  1. POHON BAJO
    1. Bertangkai/cabang tiga ialah bentuk asal daerah Kabupaten Wajo yang terdiri dari tiga Limpo, yaitu :
                                                              i.      Majauleng (Benteng Pola)
                                                            ii.      Sabbangparu (Talotenreng)
                                                          iii.      Takkalalla (Tua)
    1. Batang lurus ialah bercita-cita tinggi penuh kejujuran
    2. Daun sebanyak 30 lembar dan hijau melambangkan dewan rakyat wajo (ketika terciptanya republic wajo pada abad XIV) sedang warna hijau cita-cita kemakmuran negeri.
    3. Pada akar pohon tertulis aksara bugis menyatakan asal perkataan wajo.
  1. PITA
    Pada pita terbentang terdapat salah satu dari pandangan masyarakat /rakyat wajo “MARADEKA TOWAJOE ADENA NAPOPUANG” yang artinya Rakyat Wajo merdeka, konsitusinya yang dipertuan dengan warna hijau di artikan makmur subur.
  2. PADI, JAGUNG, IKAN GULA
    Kesemuanya melambangkan kemakmuran yang Pokok Daerah Wajo
  3. LETER W.
    Letter w yang terbentuk ornament (hiasan) melambangkan seni ukir (kesenian yang berkembang di kabupaten wajo)
  4. WARNA KUNING DAN MERAH
    1. merah berarti berani karena benar
    2. kuning berarti indah dan mulia
    3. kedua warna tersebut warna simbolis bagi jiwa masyarakat wajo
  5. WARNA DASAR
    Bidang lambang berwarna putih yang diapit merah mencerminkan kepribadian masyarakat / rakyat wajo yaitu keberanian yang disandarkan pada kesucian
  6. BENTUK LAMBANG
    Bentuk perisai/tameng artinya kesiapsiagaan menghadapi setiap kemungkinan yang mengancam Masyarakat Wajo.
3.      KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)

A.     SEJARAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)

Di daerah ini pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenrengdan Addatuang Rappang (Addatuang adalah semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama 'Nenek Mallomo'. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng, yaitu: Naiya Ade'e De'nakkeambo, de'to nakkeana, artinya: Sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak.

Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo' ketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo' yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara' La Toa, Nenek Mallomo' disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo dan sebagainya.

Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo' dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara' ahli mengenai buku Lontara') dan tokoh-tokoh masyarakat adat.
Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu'mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya

A.     ARTI DAN MAKNA LAMBANG SIDENRENG RAPPANG (SIDRAP)
  1. Tangan yang menggenggam melambangkan semangat kerja persatuan yang kokoh dan kegotong royongan.
  2. Keris yang berwarna hijau melambangkan sifat-sifat patriotik dan perwira.
  3. Pita yang berwarna Merah dan Putih melambangkan bahwa penduduk daerah ini turut aktif mengambil bagian dalam perjuangan menentang kolonialisme/imperealisme serta mengikis habis sisa-sisa kontrarevolusioner G 30 S PKI/Atheis.
  4. Padi melambangkan unsur kemakmuran yang dihasilkan oleh daerah ini sebagai karunia Tuhan yang Maha esa, yang dapat disumbangkan bagi kemakmuran Bangsa dan Negara Indonesia.
  5. Butir padi sebanyak 17 dalam satu tangkai melambangkan angka keramat dalam perjuangan Bangsa Indonesia yaitu 17 Agustus 1945.
  6. Warna Kuning Emas pada bulir padi melambangkan ketegasan dalam keyakinan dalam melanjutkan perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta dirihoi oleh Allah SWT.
  7. Warna Hijau yang mendasari lambang sebagai simbol kejujuran, simpatik, dan toleransi.
  8. Warna Putih melambangkan kesucian, kebenaran, dan keadilan.
  9. Bintang berwarna kuning emas melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyinari segala aspek kehidupan masyarakat Sidenreng Rappang.
  10. Empat lembar daun padi melambangkan ciri demokrasi telah ditegakkan di daerah ini sejak dahulu melalui pemangku adat yang digelar Pabbicara, dimana setiap keputusan/kebijakan yang Addatuang harus melalui persetujuan pemangku adat.
  11. Warna Kuning pada daun padi melambangkan kemuliaan keagamaan sebagai ciri masyarakat Sidenreng Rappang.
  12. Huruf S yang dibentuk oleh daun padi merupakan singkatan dari Sidenreng dan huruf R yang dibentuk oleh bulir padi dan sehelai daun yang melintang pada keris adalah singkatan dari Rappang. Ini melambangkan kesatupaduan dari dua bekas swapraja yang membentuk Kabupaten Sidenreng Rappang.
  13. Wadah yang dibentuk perisai melambangkan sifat persatuan rakyat dalam menerjang segala macam bentuk ronrongan baik dari dalam maupun dari luar.Lihat Selengkapnya
1.      KOTA PARE-PARE

A.     SEJARAH KOTA PARE-PARE
Diawal perkembangannya dataran tinggi yang sekarang ini, yang disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring tempat  tumbuhnya semak-semak tersebut secara liar dan tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena hobbynya memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tonapaalangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “Baik dibuat pelabuhan Kawasan ini”. Sejak itulah melekat nama “Parepare” Kota Pelabuhan. Parepare akhirnya ramai dikunjungi termasuk orang-orang melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara  Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Pada zaman Hindia Belanda, di Kota Parepare, berkedudukan seorang Asisten Residen dan seorang Controlur atau Gezag Hebber sebagai Pimpinan Pemerintah (Hindia Belanda), dengan status wilayah pemerintah yang dinamakan “Afdeling Parepare” yang meliputi, Onder Afdeling Barru, Onder Afdeling Sidenreng Rappang, Onder Afdeling Enrekang, Onder Afdeling Pinrang dan Onder Afdeling Parepare.
Pada setiap wilayah/Onder Afdeling berkedudukan Controlur atau Gezag Hebber. Disamping adanya aparat pemerintah Hindia Belanda tersebut, struktur Pemerintahan Hindia Belanda ini dibantu pula oleh aparat pemerintah raja-raja bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung Enrekang di Enrekang, Addatung Sawitto di Pinrang, sedangkan di Parepare berkedudukan Arung Mallusetasi.
Struktur pemerintahan ini, berjalan hingga pecahnya Perang Dunia II yaitu pada saat terhapusnya Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1942.
Pada zaman kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur pemerintahan disesuaikan dengan undang-undang no. 1 tahun 1945 (Komite Nasional Indonesia). Dan selanjutnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1948, dimana struktur pemerintahannya juga mengalami perubahan, yaitu di Daerah hanya ada Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) dan tidak ada lagi semacam Asisten Residen atau Ken Karikan.
Pada waktu status Parepare tetap menjadi Afdeling yang wilayahnya tetap meliputi 5 Daerah seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan dan pembagian Daerah-daerah tingkat II dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, maka ke empat Onder Afdeling tersebut menjadi Kabupaten Tingkat II, yaitu masing-masing  Kabupaten Tingkat II Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang dan Pinrang, sedang Parepare sendiri berstatus Kota Praja Tingkat II Parepare. Kemudian pada tahun 1963 istilah Kota Praja diganti menjadi Kotamadya dan setelah keluarnya UU No. 2 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka status Kotamadya berganti menjadi “KOTA” sampai sekarang ini.
Didasarkan pada tanggalpelantikan dan pengambilan sumpah Walikotamadya Pertama H. Andi Mannaungi pada tanggal 17 Februari 1960, maka dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah No. 3 Tahun 1970 ditetapkan hari kelahiran Kotamadya Parepare tanggal 17 Februari 1960.

B.     ARTI DAN MAKNA LAMBANG KOTA PARE-PARE

Bendera Merah Putih
·    Bendera kebangsaan Negara Republik Indonesia, Perlambang Persatuan dan Kesatuan dari Rakyat Indonesia;
·         Warna merah adalah Melambangkan Keberanian;
·         Warna Putih adalah Melambangkan Kesucian.
Bintang Persegi Lima warna kuning emas mengandung makna :
·         Pancasila sebagai falsafah hidup rakyat dan negara RI;
·         Cita-cita luhur dari rakyat Parepare untuk mencapai taraf hidup yang layak dan yang lebih baik dari masa lampau.
Perahu (Bentuk Lambo) dengan layar terkembang, yang seluruhnya berwarna putih diatas tiga gelombang laut yang berwarna biru mengandung makna :
·         Kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia di lautan;
·    Bahtera sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Pohon Kelapa, Buah, Padi, Bunga Kapas ketiga-tiganya adalah termasuk bahan pokok keperluan sandang, pangan, yang melambangkan kemakmuran dengan makna sebagai berikut :
·         Pohon kelapa warna hitam melambangkan keuletan/kekokohan;
·         Warna kuning pada buah padi melambangkan keluhuran dan kebesaran;
·         Warna putih bersih pada bunga kapas melambangkan kesucian.
Garis Sejajar yang berwarna hitam dan putih pada sekeliling pinggir perisai melambangkan ketahanan yang kokoh dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nan manual dan kesinambungan.

0 komentar:

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright © 2009 KULASSE JIBBE |Designed by Templatemo |Converted to blogger by BloggerThemes.Net

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.